Nikmati Keindahan Alam & Hasil Tenun Sutra Donggala

Senin, 08 Desember 2014 - 10:44 WIB
Nikmati Keindahan Alam...
Nikmati Keindahan Alam & Hasil Tenun Sutra Donggala
A A A
PALU - Donggala merupakan kota yang punya banyak sejarah ini berada tak begitu jauh dari kota Palu, provinsi Sulawesi Tengah. Pemandangan pesisir pantai milik teluk Palu akan menjadi pemandangan yang bisa di saksikan dari balik jendela kendaraan bila berkunjung ke sana. Jaraknya yang sejauh hampir 40 Km bisa di tempuh selama 1 jam dari kota Palu.

Seperti juga Palu, Donggala memiliki beberapa obyek wisata yang layak untuk didatangi. Keunikan yang di miliki kota ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong dan pendatang yang berkunjung.

Pantai Tanjung Karang adalah primadona wisata bagi kabupaten yang dulunya adalah sebuah ibukota provinsi ini. Tanjung Karang memiliki keindahan bawah laut sebagai salah satu pemikat para wisatawan.

Di perairannya, bangkai tiga buah kapal yang di telah tumbuhi bunga-bunga karang berbaur menjadi satu dengan biota laut yang menjadikan kapal-kapal tersebut rumah tinggalnya. Semuanya menawarkan pesona surga bawah laut yang memanjakan mata para pecinta olahraga selam.

Suasana di pantai yang berjarak 3 Km dari pusat kota ini pun tak kalah menarik. Tak jauh dari garis pantainya yang berpasir putih, para pengunjung pantai ini bisa berendam di kesegaran airnya atau juga menyaksikan aneka warna ikan yang berkejaran di sela-sela bunga karang dengan bersnorkeling ria.

Pengunjung juga bisa berkeliling di seputaran perairannya dengan menggunakan perahu-perahu kayu untuk memancing ikan atau juga menyaksikan keindahan bawah air lewat kaca tembus pandang.

Selain memiliki panorama pantai yang indah, Donggala juga memiliki asset kerajinan tangan berupa kain tenun sutra yang keindahannya sudah terkenal hingga ke manca negara. Di Banawa, sebuah kecamatan yang berada di bagian barat pusat kota Donggala, atau persis di desa Watusampu dan Towale bisa di saksikan para warganya menenun ‘Buya Sabe’, istilah warga setempat bagi sarung tenun hasil olahan tangan mereka.

Dari rumah-rumah warga, bunyi hentakan yang dihasilkan dari ‘Balida’ bisa didengarkan apabila berkunjung ke kedua desa tersebut. ‘Balida’ adalah alat tenun sederhana yang digunakan oleh para wanita penenun di Donggala. Kayu ebonya atau kayu ulin menjadi bagian dari balida ini.

Fungsinya adalah pemberat di tengah hamparan kain saat penenunnya memintal benang-benang suteranya. Para penenun nya sendiri datang dari beragam usia baik yang muda (12 hingga 20 tahun) maupun yang paruh baya (50 hingga 60 tahun). Ada yang menenun buya sabe sebagai mata pencaharian utama namun ada pula yang menjadikan kegaiatan menenun sebagai aktifitas sampingan atau pengisi waktu senggang.

Corak Buya Sabe yang di hasilkan beraneka ragam diantaranya, garusu, bomba, buya bomba, atau juga palekat. Beberapa corak, seperti ‘buya bomba’, membutuhkan waktu 2 bulan untuk menyelesaikannya mengingat tingkat kerumitan dalam pengerjaannya.

Untuk corak-corak lain lazimnya bisa di selesaikan dalam waktu beberapa minggu. Yang mencolok dari kain tenun khas Donggala adalah hampir semuanya memiliki motif kotak-kotak. Bagi masyarakat Donggala motif ini adalah simbolisasi dari rasa kebersamaan dan keutuhan. Motif lain yang juga memiliki arti kebersamaan adalah nekara yang bersusun secara geometris.

Di masa lalu, Buya Sabe hanya di kenakan pada upacara adat atau perkawinan. Selain itu, tidak semua warga bisa mengenakan kain dengan motif tertentu. Sebagai contoh, hanya raja dan kalangan bangsawan yang diperbolehkan mengenakan kain bermotif ‘palekat’.

Di pusat kota Donggala masih bisa di sakiskan bangunan-bangunan tua peninggalan masa lalu. Di Jalan Bioskop misalnya, beberapa rumah terbuat dari kayu masih berdiri. Arsitektur dan warna bangunan nya menjadi penanda yang mencolok bagi usia nya yang tua. Bagi penyuka photography, bangunan-bangunan di jalan ini bisa menjadi obyek gambar yang menarik.

Arsitektur unik milik kota Donggala lainnya bisa di temui di pelabuhan Tanjung Batu. Tiga buah bangunan setengah lingkaran dan memanjang peninggalan Belanda bisa di nikmati. Bangunan dengan seng sebagai bahan utama nya ini juga cocok menjadi latar belakang bagi sebuah obyek foto selain lalu lalang kapal-kapal kayu di perairan sekitar dermaga pelabuhannya.

Di petang hari tak ada salahnya berkunjung ke pelabuhan Wani. Barisan perahu-perahu kayu tradisional bisa saksikan. Udara laut yang segar turut menambah kenyamanan perjalanan di dermaga-dermaganya. Bias sinar kuning keemasan menjadi penghias permukaan perairan sekitar pelabuhan kala mentari kembali ke balik horizon.

Pepohonan yang berdiri di sekitar nya menjadi pelengkap sempurna keindahan pelabuhan yang menjadi penghubung bagi kabupaten Donggala dan Toli-toli ini.

Berkunjung ke Donggala menjadi tidak lengkap bila belum mencicipi ‘Kaledo’, kuliner khas Donggala ini menawarkan daging kaki sapi lengkap dengan sumsum nya. Santapan pendampingnya selain nasi adalah singkong rebus. Kuahnya terasa begitu nikmat dilidah.

Kaledo sendiri adalah bahasa ‘Kaili’ yang berarti ‘tidak keras’, namun banyak juga yang mengartikan Kaledo sebagai ‘Kaki Lembu Donggala’. Tulang kaki sapi di Donggala memang terkenal memiliki banyak daging.

Berbeda dengan kebiasaan di Jawa atau di daerah lainnya, di Donggala dan Palu, daging yang menempel di kaki sapi memang tidak di bersihkan seluruhnya. Karenanya penikmat Kaledo masih bisa menikmati kelezatan dan empuknya daging yang menempel di kaki sapi. Menyedot gurihnya sumsum dari lobang tulangnya juga merupakan keasyikan tersendiri.
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0932 seconds (0.1#10.140)